Kebijaksanaan pembangunan pangan di Indonesia, seperti hampir di semua negara di dunia, ikuti ide ketahanan pangan (food security). Ini tercermin dari kebijaksanaan yang sudah diedarkan yaitu pada Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 mengenai Pangan. Dalam Undang-undang itu, ideologi ketahanan pangan memberi warna hampir semua isi undang-undang. Hal yang terus disinggung dalam undang-undang itu ialah segi pemenuhan serta kecukupan bahan pangan buat warga.
Undang-undang itu tidak mempermasalahkan bagaimana bahan pangan itu didapatkan serta dengan apa, terhitung import beras besar sekalinya. Ini jadikan Indonesia mempunyai ketergantungan yang tinggi sekali pada beberapa produk pangan import.
Baca Juga : Pengertian Software
Bila kita melihat sejarahnya, butuh diamati jika seting waktu kelahiran UU Pangan waktu itu bersisihan dengan World Food Summit (WFS) 1996 yang diadakan oleh FAO. Dimana salah satunya resolusi yang dikeluarkan (Resolusi No. 176/1996) diantaranya berisi loyalitas untuk menerapkan satu ide food security jadi satu usaha untuk menangani bahaya kelaparan yang menerpa dunia. Oleh karena itu lumrah bila food security lebih menguasai jadi spirit pengaturan UU itu dibanding ide kedaulatan pangan (food sovereignty).
Negara kita ada dalam status riskan pangan bukan lantaran tidak terdapatnya pangan, tapi lebih dikarenakan pada pemenuhan pangannya tergantung kepada pihak lain. Walau dari segi pemenuhan keperluan warga tidak memiliki masalah, tapi dalam periode panjang pasti meneror warga Indonesia. Waktu berlangsung pergantian pola-pola produksi-distribusi-konsumsi pada tingkat internasional, karena itu dengan automatis kita juga terserang efeknya.
Di dunia internasional sendiri, 90 % perdagangan pangan sekarang dikendalikan oleh 5 MNC (Archer, Daniels, Midland, Cargill, serta Bunge), 90 % pasar benih serta input pertanian dikendalikan 6 MNC, serta 99,9 % benih transgenik dikendalikan 6 MNC, dengan Monsanto kuasai 90 % di dalamnya.
Tersisa Permasalahan
Baca Juga : Pengertian Hardware
Bidang pertanian di Indonesia terus tersisa permasalahan dalam perekonomian. Terbaru, berdasar data Tubuh Pusat Statistik (BPS), perkembangan ekonomi di bidang pertanian (tidak terhitung kehutanan serta perikanan) pada semester I-2019 cuma sebesar 3,41 % atau lebih rendah dibandingkan tahun awalnya (semester I-2018) yang sebesar 3,88 %. Ini adalah perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian yang terendah semenjak semester II-2017.
Butuh diingat jika yang terhitung dalam PDB pertanian ini ialah tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, peternakan, layanan pertanian serta pemburuan. Serta spesial untuk bidang tanaman pangan, perkembangan PDB di semester I-2019 tertera negatif alias terkontraksi sebesar 0,42 %. Walau sebenarnya, waktu panen raya tahun ini berada di semester I, yakni seputar April-Juni yang bisa digunakan untuk menggenjot perkembangan ekonomi. Tahun kemarin waktu panen ada juga di semester I, atau jatuh seputar Maret.
Baca Juga : Pengertian Brainware
Tanaman pangan jadi penting sebab memberi seputar 30 % pada keseluruhan PDB pertanian. Saat perkembangan ekonomi di bidang tanaman pangan melambat, pertanian keseluruhannya jadi terhalang. Jika dilihat semenjak tahun 2013, sebenarnya perkembangan ekonomi pertanian terus ada dalam trend perlambatan. Celakanya , tidak pernah sekalinya perkembangan PDB pertanian tambah tinggi dibanding keseluruhan perkembangan ekonomi Indonesia.
Berarti, pergerakan perkembangan ekonomi di sektor-sektor yang lain lebih kencang dibanding pertanian. Diluar itu ini jadi tanda-tanda jika perkembangan mengonsumsi warga tetap terus melebihi perkembangan pertanian. Bila keadaan ini terus bersambung, karena itu ada satu persoalan berkaitan pangan di Indonesia yang makin susah untuk diberantas.
Catatan perdagangan luar negeri menunjukkan jika telah semenjak 1960 Indonesia terus lakukan import beras. Pada 2018, import beras serta abuh jadi lebih dari 2 juta ton. Terbaru selama Januari-Juni 2019, BPS mencatat import beras sudah sampai 203 ribu ton. Memang, jumlahnya import beras relatif kecil daripada produksi beras dalam negeri. Kementerian Pertanian mencatat produksi beras pada 2018 sampai 83 juta ton.
Baca Juga : Software Adalah
Masalah big data pangan masih meresahkan. Jadi perbandingan, data FAO Rice Market pada April 2018 menunjukkan produksi padi di Asia jika produksi padi di Indonesia 2018 tambah tinggi dibanding 2017 seputar 72 ton gabah kering giling (GKG). Data produksi beras yang diterbitkan FAO pada tahun itu jauh tambah tinggi dibanding data BPS, yang mengatakan jika produksi padi di Indonesia 2018 cuma 56 juta ton GKG.
Tidak hanya masalah di atas, ada pula masalah kebijaksanaan struktural yang dikarenakan oleh Agreement on Agriculture (AoA) yang disebut produk dari World Trade Organization (WTO). WTO telah semenjak 2008 mengulas tentang public stockholding (stock pangan) yang ulasannya kembali muncul semenjak Pertemuan Tingkat Menteri (KTM) IX WTO di Bali pada 2013. Beberapa negara anggota WTO hadapi bahasan yang deadlock mengenai rumor public stockholding for food security itu, khususnya di antara Amerika serta India.
Kebijaksanaan WTO batasi bantuan pertanian domestik tidak bisa lebih dari de minimis 10 %. Resikonya jika memberi bantuan pertanian domestik di atas 10 %, karena itu bisa digugat ke Tubuh Penyelesaian Perselisihan WTO oleh negara anggota yang lain. Paling baru, pada 2015 Amerika menuntut Cina untuk semua komoditas pertanian Cina ke Tubuh Penyelesaian Perselisihan WTO.
Baca Juga : Hardware Adalah
Jika kita lihat selama ini, Indonesia terhitung yang paling patuh memberi bantuan pertanian domestik tidak kurang dari 10 %. Beda perihal dengan Cina (35 %), Brazil (11 %), serta India (12 %). Selain itu, persetujuan tentang meningkatkan batas de minimis jadi 15 % masih menggantung antara anggota-anggota WTO sampai sekarang.
Oleh karenanya, rumor public stockholding di WTO ini diinginkan bisa ditempuh lewat plurilateral agreement agar jadi kesepakatan yang diutamakan buat kebutuhan beberapa negara yang fokus pada bidang pertanian. Diplomasi di antara Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Perdagangan ini diinginkan bisa membuat breakthrough di sampai persetujuan bersejarah di rumor pertanian di WTO agar terlepas dari perangkap kebijaksanaan pangan dunia.
No comments:
Post a Comment